Kamis, 06 Februari 2014

[artikel] Money Can' Buy Everything

Apakah Anda menerima daftar pekerjaan anak disertai daftar harga layaknya menu di restoran? Jika ya, jangan menganggapnya enteng, mungkin anak sudah menganggap nilai uang atau materi lebih penting dibandingkan nilai ketulusan dan manfaat dari sebuah proses. Jika terus dibiarkan, anak akan memupuk sifat materialistis sedari kecil.

Psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia Dr Tjut Rifameutia MA mendefinisikan materialistis adalah suatu sifat yang mengedepankan nilai materi pada keadaan yang kebutuhan materi sudah terpenuhi atau berlebihan. Anak yang memiliki sikap dan sifat matre ini biasanya terlihat konsumtif, selalu ingin memiliki barang-barang mutakhir, padahal tidak
terlalu membutuhkannya. Anak cenderung ingin memiliki uang jajan berlebih, berteman
dengan teman-teman yang berasal dari kelompok yang berada. Anak juga melakukan sesuatu dengan memperhitungkan untung ruginya dari segi materi seperti meminta reward atau dengan syarat-syarat.

Rifameutia mengatakan, hal ini terjadi karena anak belajar dari pengalaman dunia di sekitarnya. ‘’Anak diperkenalkan dengan konsep materi yang salah sehingga terbentuk pola kebiasaan tersebut pada anak,’’ jelasnya. Seperti, anak biasa melihat kekaguman orang-orang pada mereka yang bergaya trendy dan memiliki barang-barang baru. Bisa jadi juga karena orangtua seringkali bercerita yang mengedepankan nilai-nilai ekonomi dan materi. ‘’Sehingga anak merasa bahwa hidup itu untuk memperoleh nilai ekonomi yang tinggi dan memiliki berbagai materi,’’ sambung Tia.

Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Januarani Razak Msi, mengatakan sebenarnya anak belum paham betul arti dari materialistis. Konsep materialistis ini berasal dari orangtua, yaitu bagaimana orangtua mempersepsikan materi. Dalam mengadopsi sebuah konsep umumnya anak-anak ada yang mampu mendefinisikan sendiri hal-hal yang ada di lingkungannya, sehingga bisa membedakan mana yang baik dan benar. Tapi, ada juga anak yang menjiplak hal-hal yang dilihatnya. “Alhasil pandangan orangtua dalam menilai materi yang tercermin dalam polah tingkah bisa tertular pada anak,” katanya.

Januarani memaparkan, jika sifat ini terus dibiarkan tumbuh pada anak, alhasil materi akan menjadi tujuan hidupnya kelak. ‚’Hal ini tentu berbahaya, karena anak berpotensi menjadi seseorang yang bisa mendewakan materi dan melakukan tindakan apapun untuk mewujudkannya salah satunya korupsi,’’ ujarnya. Oleh sebab itu, tanamkan konsep materi yang benar. Materi bukanlah tujuan melainkan sarana dan penunjang. Ajarkan materi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup dan beramal pada orang lain. Semakin banyak materi yang didapatkan, maka semakin banyak orang yang bisa dibantu. ”Paling penting berikan pemahaman, materi bukanlah hal yang kekal dan bisa kapan saja diambil oleh yang maha kuasa,” kata Januarani.

Materialistis vs selera tinggi

Psikolog pendidikan dari Universitas Indonesia, Wahyu Indiati Msi, mengingatkan jangan sampai orangtua salah menilai, anak yang menyukai barang bernilai tinggi belum tentu materialistis. Bisa jadi si anak memiliki selera yang tinggi dalam menilai sesuatu. ’’Persepsi ini dibentuk dari nilai-nilai yang ditanamkan orangtua saat beropini menilai suatu barang,’’ katanya. Untuk itu, orangtua perlu memperkenalkan beragam pilihan barang atau lingkungan. Misalnya, anak tak hanya diajak ke mal saja, tapi juga ke panti asuhan. Atau anak tak hanya dibelikan barang bermerek saja, tapi juga barang yang harganya lebih murah namun kualitasnya tak kalah. ”Kedekatan (bonding) antara anak-orangtua juga mempengaruhi sampai atau tidaknya pesan yang disampaikan orangtua,” katanya.

Indiati melanjutkan, anak dikatakan materialistis ketika sudah sampai batas tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan dirinya terhadap materi. Biasanya ini terlihat anak seringkali menuntut untuk dipenuhi keinginannya. Misalnya, anak menuntut dibelikan mainan kemudian meminta mainan jenis yang lain dalam waktu yang singkat. Sehingga tak urung anak matre dikategorikan manja yang tidak memahami arti keterbatasan, padahal dalam kehidupan nyata tidak semua keinginan tercapai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar